
Dengan gembira aku langsung kedepan menyalami guru dan mengambil rapotku. Kemudian guru mengumumkan bahwa juara satu sampai tiga besok diundang ke sekolah mengajak ibu masing-masing untuk memperingati hari ibu. Segera aku berfikir untuk pulang dan mengabarkan kabar gembira ini kepada emak dirumah.
Namun cuaca mulai tak bersahabat, awan mulai menghitam dan angin mulai berhembus kencang. Aku meminta seorang teman untuk mengantarku pulang, tapi karena cuaca mendung aku hanya memintanya mengantarku sampai di ujung jalan yang beraspal saja yaitu di Kampung Bantarwaru.
Sesampainya dibantarwaru aku langsung turun dan berterimakasih pada temanku. Diapun pergi meninggalkanku. Saat itu jam menunjukan pukul 10.35, Aku berjalan menyusuri jalan menembus hutan karet dengan jalan yang bercampur lumpur aku hanya bisa berjalan dirumput-rumput tepi jalan. Sekitar 10 menit aku berjalan tiba-tiba terdengar gemuruh petir yang disusul oleh hujan yang sangat besar. Akupun berari kearah pohon besar untuk berteduh. Disana kubuka bajuku kemudian kumasukan bajuku kedalam tas untuk menutupi rapotku dari air hujan. Sekitar 5 menit aku berteduh, kemudian aku melanjutkan berjalan kaki menembus derasnya air hujan yang terus menerus turun.
Ditengah jalan aku melihat seorang kakek-kakek petani hendak pulang dari kebunnya. Dengan segera aku meminjam golok padanya untuk mengambil daun pisang yang langsung kujadikan sebagai alat pengganti payung. Akupun melanjutkan perjalanan menggunakan daun pisang itu. Jam mulai menunjukan pukul 11.50 aku baru sampai di SD. Girijagabaya. Agar tidak ketinggalan sholat jumat aku bergegas terus mempercepat langkah kakiku. Tepat pukul 12.00 aku sampai dirumah. Langsung aku masuk lewat pintu belakang dan ternyata ema sedang duduk disana. Akupun langsung menangis duduk disamping ema. Aku langsung membuka tasku mengeluarkan rapotku yang basah. Segera ema mengeringkan rapotku di atas tungku api yang sedang menyala. Akupun menceritakan tentang aku mendapat juara dan menyampaikan undangan dari sekolah.
Akupun berkeluh kesah kepada emak tentang perjalanan yang aku lalui. Kemudian aku bertanya kapan kampung kita akan memiliki jalan seperti didaerah lain? kapan saatnya kita tidak takut jika hujan datang? karena jika hujan datang jalan kita tidak bisa kita lalui. Emakpun hanya terdiam tersenyum melihat tingkahku. Dalam hatiku aku berkata besok suatu hari nanti jika aku besar nanti jika pemerintah tidak bisa membangun jalan ini, akan kubangun sendiri jalan ini.
Ketika disekolah aku pernah menulis surat kepada Bapak Bupati saat itu. Surat itu berisi keluh kesahku dan permintaanku untuk membangun jalan ke kampung ini. Namun aku tak tahu kemana perginya surat itu sampai saat ini aku belum pernah mendapatkan jawaban atau surat balasan.
Yah, mungkin sekarang ini menjadi memori untuku dan bahan kehidupan yang sangat bermakna bagiku yang tak akan kulupakan. Namun sebagai informasi bahwa jarak dari jalan yang beraspal ketempatku adalah sekitar 7 Km. Kalo diliat dari google earth. Dan harusnya kalau jalannya bagus mungkin kami hanya membutuhkan waktu sekitar 25 menit. Namun sayang dengan kondisi jalan yang buruk waktu yang kami butuhkan bisa mencapai satu jam jika kondisi sedang musim kemarau. Namun jika musim hujan bisa 1,5 atau 2 jam atau bahkan kendaraan tak bisa lewat dan kami harus berjalan kaki.
Kejadian ini terjadi ketika tahun 2009 akhir. Sekarang 2014, sudah mulai ada pembangunan dengan swadaya masyarakat jalan-jalan tanjakan di batu dengan bergotong royong. Dan kami masih menunggu pembangunan dari pemerintah karena kami masih Indonesia.
keren :)
ReplyDeleteTerimakasih, Asik jika punya cerita bagus, saya siap jadi pembaca :)
ReplyDelete